Partai Demokrat Cuci Tangan Kasus Lukas Enembe dengan Keputusan Pencopotan Jabatan
waktunya.online – Habis manis sepah dibuang, mungkin itulah peribahasa yang kini sedang disandang oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe setelah KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Posisinya sebagai kader Partai Demokrat yang harusnya mendapat dukungan dan perlindungan namun justru semakin redup dan menghilang. Simbiosis mutualisme antara tokoh, partai, dan lumbung suara yang pernah dihasilkan Lukas Enembe dan masyarakat Papua terhadap Partai Demokrat seketika menjadi hilang dan terlantar begitu saja ketika sang gubernur menyandang predikat tersangka.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman menyatakan bahwa Lukas Enembe akan dicopot dari jabatannya sebagai kader Partai Demokrat. Seluruh kader partai yang terlibat kasus korupsi secara otomatis harus melepaskan jabatannya dari pengurus partai. Hal tersebut sebagai komitmen partai bersih dari praktik korupsi, partai juga tidak melindungi siapapun yang kena kasus korupsi. Sebuah pernyataan yang terkesan egois dan lari dari tanggung jawab. Sebagai bagian dari Partai Demokrat, kasus Lukas Enembe mungkin akan sedikit berdampak negatif terhadap citra partai. Namun bukan suatu kebenaran mutlak juga jika partai yang turut dibesarkan oleh sang gubernur tersebut kemudian lepas dari tanggung jawab dan dukungan saat kadernya terkena masalah.
Pencopotan Gubernur Papua Berpotensi Rugikan Partai Demokrat di Masa Mendatang
Adanya wacana pencopotan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai kader partai diindikasi bakal menyulitkan partai Demokrat saat Pemilu 2024. Pernyataan tersebut disampaikan oleh mantan politisi sekaligus tokoh adat Papua, Ramses Wally. Dalam praktiknya, partai berlambang mercy tersebut akan kehilangan lumbung suara di Papua apabila melengserkan Lukas Enembe dari jabatannya. Tak dapat dipungkiri, besarnya eksistensi Partai Demokrat di wilayah Papua karena adanya sosok Lukas Enembe. Selama masa kepemimpinannya di Papua, ia dianggap berhasil mempertahankan nama partai Demokrat untuk tetap unggul sampai hari ini. Sehingga, Partai Demokrat bisa kehilangan peluang kemenangan pada Pemilu 2024 mendatang. Keputusan untuk melengserkan Lukas Enembe hanya karena tersangkut korupsi tanpa ada uluran tangan kepada yang bersangkutan adalah hal keliru yang berdampak pada kecilnya peluang kemenangan pada tahun 2024 mendatang. Adanya wacana pelengseran sang gubernur bagi Partai Demokrat adalah sebuah tindakan bunuh diri. Pernyataan tersebut bakal membuka peluang untuk partai lainnya merebut seluruh kekuasaan politik yang sudah dimiliki Partai Demokrat di Papua selama ini.
Pembelaan Tak Bermutu dari Partai Demokrat Terhadap Lukas Enembe
Sebelum akhirnya berwacana untuk mencopot Lukas Enembe dari jabatan dan posisi kader di Partai Demokrat. Herzaky Mahendra Putra selaku juru bicara DPP Partai yang didirikan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut pernah menyanggah perihal penetapan sang gubernur sebagai tersangka dengan predikat prestasi mampu meraih 7 kali WTP berturut-turut. Seperti yang kita ketahui bahwa WTP adalah singkatan dari Wajar Tanpa Pengecualian, sebuah nilai yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kewajaran informai keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan.
Suatu daerah diberikan opini WTP lantaran laporan keuangannya dianggap memberi informasi yang bebas dari salah saji material. Artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, organisasi tersebut dianggap telah mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum. Sayangnya, opini WTP tidak ada urusannya dengan praktek korupsi, pasalnya catatan yang disajikan secara material bisa saja dipermak sedemikian rupa. Menjadi hal yang mengherankan jika Partai Demokrat masih menggunakan status WTP sebagai tameng pembenaran terhadap kasus Lukas Enembe.
Silang Sengkarut dan Lika-Liku Korupsi Politik Lukas Enembe
Adanya kasus korupsi yang menimpa Lukas Enembe harusnya menjadi pemantik untuk mendesain ulang rekrutmen partai politik. Selama ini rekrutmen yang dilakukan partai politik tidak transparan dan akuntabel, serta hanya berorientasi pada kekuasaan. Biaya yang mahal juga menjadi persoalan serius dalam proses rekrutmen politik. Tak jarang kader partai politik harus mengeluarkan biaya hingga miliaran untuk mendapat rekomendasi dalam pemilu. Mereka yang telah melewati proses transaksi haram tersebut pada akhirnya tidak lagi memikirkan kepentingan publik saat menjabat, melainkan berfokus pada cara-cara agar bisa mengembalikan modal fantastis yang telah digelontorkan di awal. Proses yang demikianlah yang kemudian menjadi akar dari praktik korupsi.
Berdasarkan sejumlah informasi yang menyebutkan bahwa Lukas Enembe dalam keadaan sakit sehingga belum menghadiri pemeriksaan di KPK, perlu dipastikan objektivitas keterangan tersebut. KPK dapat meminta second opinion dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Hal Ini bukan pertama kali dilakukan, sebelumnya juga pernah saat menangani perkara korupsi KTP-Elektronik dengan tersangka mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Terkait kasus Lukas Enembe, sederhananya seluruh dakwaan KPK, kewajiban untuk membuktikan adanya aliran dana tidak wajar bukan berada pada ranah penuntut umum, melainkan terdakwa sendiri. Jika terdakwa tidak bisa membuktikan penerimaan itu didapatkan dari hal wajar, maka aparat penegak hukum melalui putusan pengadilan dapat langsung merampas aset-aset tersebut.
Selain itu, KPK juga harus membuka celah untuk menjerat pihak-pihak yang berupaya menghalang-halangi proses hukum dengan memanfaatkan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ada pola yang biasanya digunakan oleh pelaku korupsi untuk menghindar dari proses hukum, salah satunya melalui pengerahan massa untuk menghalangi aparat penegak hukum. Jika itu dilakukan, maka, baik pihak yang memerintah maupun yang diperintah dapat diproses hukum atas sangkaan obstruction of justice. Ancaman pidananya pun cukup tinggi, yakni mencapai 12 tahun penjara.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)